Thursday, March 8, 2012

Senja Telah Datang Menghampiri (Part 3)

Cerita sebelumnya: Guyuran hujan mengawali hari itu. Relia merasakan sakit yang amat sangat di ulu hatinya. Ada sesuatu yang salah di sana. Cepat-cepat dia bergerak ke meja yang ada di sudut ruangan dan mengambil obat-obatan di sana. Meminum dengan cepat. Setelah sedikit merasa lega, dia pun bergerak lagi ke arah tempat tidur sambil memegang bagian yang sakit itu. Sakit itu perlahan-lahan menghilang.


 (Source: here)

Gadis itu memandangi foto yang terletak di sudut mejanya. Fotonya bersama Kira dua bulan lalu. Dia tersenyum kecil. Gadis lincah itu sudah menemaninya selama ini. Rasa senang yang membuncah terasa menghiasi hatinya yang beberapa saat lalu terasa sakit.

                ”Rel, ada yang mencarimu di depan!” mamanya berdiri diambang pintu dan tersenyum ke arahnya. Lamunannya buyar seketika.

                ”Siapa Ma?” Relia balas bertanya sambil membenahi dandanannya yang sedikit berantakan.

                ”Erlangga.” mamanya mendekati Relia perlahan. ” Kamu kenapa? Kambuh lagi? Kita ke dokter aja sekarang!”

                ”Nggak usah Ma! Relia baik-baik aja.” Relia memukul-mukul sayang pipi mamanya. ”Percaya deh!”

                Relia berjalan ke arah beranda. Di sana dilihatnya Erlangga duduk dan menatap kosong ke jalan raya. Dia selalu berpikir ada yang aneh. Lelaki ini selalu bersikap aneh, datang tiba-tiba dan menghilang juga dengan tiba-tiba.

Relia mendeham. Lamunan Erlangga berhenti seketika mendengar dehaman Relia.

                Relia tersenyum ke arah Erlangga. Tidak tahu harus bersikap apa. ”Ada masalah apa nih? Tiba-tiba datang kemari.”

                ”Nggak ada masalah. Hanya ingin berkunjung, dan mengenal sahabat lebih jauh!” kelakar Erlangga sambil menaikkan alisnya sebelah.

                ”Ha ha ha. Dasar cowok melow. Perasaan kamu udah lama ngilang. Kemana aja Lang?” Relia mengambil posisi disebelah Erlangga.

                ”Aku nggak kemana-mana. Kamu aja yang nggak merhatiin! Aku selalu duduk di dekatmu kok,” ucap Erlangga terdengar putus asa.

                ”Bohong ah! Aku emang udah lama nggak liat kamu,” Relia berusaha mengingat-ngingat.

                ”Udah ah. Lupain aja. Kamu pasti nggak ingat kalau aku selalu duduk disamping kamu.”

                ”Selalu?” tanya Relia meyakinkan

                ”Iya. Selalu sepanjang masa kuliah,” ujar Erlangga menegaskan.

                ”Ck..jangan mengada-ada ah!” Relia bergidik ngeri.

                Erlangga hanya diam.

”Jadi beneran kamu di dekatku selama ini?”

Erlangga terlihat menahan sesuatu di benaknya. Diam dan terus diam.

”He he he.. aku bercanda. Aku kemarin ada urusan keluarga. Kamu rindu sama aku ya?” Erlangga tertawa melihat reaksi Relia.

                ”Dasar! Aku kan jadi mikir yang nggak-nggak! Aktingmu bagus juga.” Relia memajukan bibirnya.”Oh ya! Ada yang mau aku tanyakan sama kamu!”

                ”Apa?” Erlangga memutar badannya ke arah Relia.

”Kamu kenal Kira?” Relia memulai pertanyaannya.

”Sedikit,” jawan Erlangga.

”Sedikit bagaimana?” Relia bertanya lagi.

”Aku hanya kenal dia sebatas nama dan wajah. Nggak lebih.”

”Kamu tahu nggak kalau aku dan dia sahabatan?”

Erlangga mengangguk.

”Kamu tau nggak aku menganggap kamu itu aneh. Kenapa kamu selalu datang saat dia nggak ada dan tiba-tiba menghilang jika kami mau bertemu?” Relia menatap lurus ke mata Erlangga. ”Apa kamu menyimpan suatu rahasia?”

Erlangga terlihat gelagapan. Terdiam beberapa saat.

”Aku memang ada urusan. Itu cuma kebetulan. Lagian kalian punya dunia sendiri kan?” Erlangga akhirnya mengeluarkan suara.”Dan sebagai tambahan, semua yang ada di dunia ini punya rahasia. Nggak hanya aku, kamu juga punya kan? Yang tidak akan kamu katakan, kecuali pada orang yang tepat, tempat yang tepat dan waktu yang tepat.”

Sekarang gantian Relia yang terdiam. Memang benar juga. Jika dia dan Kira sudah berdua, ada saja pembicaraan yang membuat mereka lupa dengan sekeliling. Rasa nyaman satu sama lainlah yang membuat mereka merasa semua hal jadi menarik dibicarakan. Dia juga punya rahasia yang sudah dikatakannya pada orang yang tepat. Relia mengangguk.

”Ya udah! Aku mau pergi dulu, ada urusan lain.” Erlangga berdiri dari tempat duduknya dan mulai melangkah pergi. ”Siang!”

Relia terdiam. Bingung. Jadi Erlangga datang hanya untuk tahu kabarnya saja. Hanya itu.

”Benar apa aku bilang, kamu memang aneh Erlang!” Relia meneriakkan kata-kata itu ketika Erlangga akan menghilang di sudut jalan. Erlangga hanya membalasnya dengan lambaian dan senyuman.

”Heh.. Dasar orang aneh!” ujar Relia pelan.

***

”Rel, bentar lagi kita mau UTS. Jangan lupa belajar ya!” Kira membolak balik buku yang sedang dibacanya.

”Memang sekarang aku lagi ngapain?” Relia mengangkat bukunya tinggi-tinggi.

”Cuma ingin ngingatin aja!” Kira menambahkan. ”Biar kamu sadar. Dari tadi aku liatin, buku itu dianggurin dari tadi. Hayo, lagi terkena sindrom merah jambu ya?”

Relia mendelik. ”Apaan sih?” dia tersenyum menanggapi godaan Kira.”Aku cuma lagi mikir. Kok sistem ini nggak bisa diselesaikan ya? Ada yang salah kayaknya dengan kerjaanku.” Relia memang sedang belajar mata kuliah Neraca Massa dan Energi, salah satu mata kuliah wajib di jurusannya.

”Yang mana? Aku jadi pengen liat,” Kira menggeser duduknya agar mendekat ke arah buku Relia.

”Yang ini! Derajat Kebebasannya 0. Tapi kok nggak bisa juga diselesaikan?” Relia menunjuk ke arah kertas buramnya yang sudah penuh coretan.

”Mana sih? Semuanya kok cuma coretan?” Kira mengerakkan matanya mencari-cari.

”Ini! Kelihatan sekarang?” Relia menunjuk coretannya.

”Udah.” Kira menatap kertas itu dengan seksama. ”Hmm ini mah underspesified tau? Nggak bisa diselesaikan. Coba deh liat soalnya! Kan benar kamu lupa tentang ketentuan Hubungan pendukung. Jika hubungan pendukung udah dimasukin ke data, hubungan pendukungnya jadi 0. Nggak perlu lagi ditambahin ke dalam Analisis Derajat Kebebasan. Soal ini bisa diselesaikan jika kamu nambahin asumsi.” ujar Kira berapi-api.

”Oo gitu ya? Aku nggak mudeng bagian itu” Relia memperbaiki lagi coretannya.

Mereka kembali lagi hanyut di rumus masing-masing, soal masing-masing dan pikiran masing-masing. Namun Relia kembali teringat dengan percakapannya dengan Erlangga beberapa saat yang lalu, dan sekarang dia sangat penasaran dengan sesuatu yang sama sekali tidak dia ketahui dengan pasti apa itu.

”Kir, kamu kenal Erlangga?” tanya Relia tiba-tiba.

”Erlangga?” Kira terlihat berpikir sejenak. ”Anak jurusan mana dia?” sekarang balik Kira yang bertanya.

Relia menatap heran.”Jurusan yang sama dengan kita. Sekelas lagi.”

”Nggak deh perasaan. Nggak ada yang namanya Erlangga.” Kira berusaha meyakinkan dirinya. ”Atau mungkin namanya lain. Panggilannya beda kali dengan nama sebenarnya. Lagian aku nggak terlalu kenal anak sekelas. Biasa. Sibuk bekerja. He he he.”

”Hm..benar juga. Ya udah deh, kita lanjutin lagi aja!”

***

Ujian sudah berlalu. Anak-anak mulai sibuk merencanakan apa saja yang akan mereka lakukan selama liburan nanti. Kira mengatakan bahwa dia akan pulang ke kampungnya di Lombok. Katanya ayah dan ibunya udah lama mau pulang kampung tapi nggak pernah jadi.

Relia berencana mau melanjutkan terapinya. Kira menyemangati Relia supaya nggak menyerah. Anak-anak lain pada ingin tahu sebenarnya Relia sakit apa karena melihat Kira yang begitu bersemangat menyuruhnya berobat.

”Elo sakit apa Rel? Ngomong dong?” tanya Saka, salah satu teman sekelasnya, suatu hari.

”Sakit hati. Karena elo nanyain dia terus. Rese banget sih!” Kira malah yang bersungut-sungut menjawabnya.

”Kok elo yang jawab Kir? Marah-marah lagi.” sekarang gantian Saka yang bersungut-sungut.”Gue nanya juga baru sekarang.”

”Karena gue aja udah merasa menderita ngeliatin orang nanyain hal yang sama setiap kali ketemu Relia. Apa lagi dia?” Kira menatap Saka yang memandangnya dengan pandangan protes.

”Kan gue pengen tau!” Saka berusaha membela diri. Merasa kesal diperlakukan seperti itu sama seorang cewek.

”Seharusnya kalau pengen tau, dan pengen jawaban yang memuaskan. Elo harus jadi orang pertama. Pertama!” Kira menekankan kata-katanya.” Yuk, pergi Rel. Dadaah!” sambung Kira dengan pandangan cuek dan menyeret tangan Relia menjauh dari Saka.

 Kira sedang asyik bercerita dengan sekelompok anak tentang kampung halamannya. Ada seseorang yang bertanya tentang itu. Dengan penuh antusias, Kira menjawabnya dengan senang hati. Dia beranjak kesana sebelum berteriak ke semua orang agar tidak mengganggu Relia.

Sementara Relia hanya duduk diam di meja. Pikirannya melayang. Tiba-tiba saja dia ingat Erlangga. Dia tidak pernah lagi melihat Erlangga. Kemana saja anak itu. Apa dia tidak kuliah lagi? Berbagai pertanyaan berkelebat dipikirannya. Relia beranjak dari tempat duduknya dan bergerak mendekati segerombolan anak lelaki yang duduk di barisan belakang. Dia ingin menanyakan kabar Erlangga kepada mereka. Mungkin saja mereka tahu. Karena Erlangga pernah mengatakan kalau dia sering main sama anak geng belakang.

”Eh, Rel? Ada angin apa nih mau berkunjung ke kawasan kami tercinta?” celetuk Arya.

”Iya ni. Eneng Relia jarang ngobrol ama kita-kita. Iya nggak guys?” ucap Ongki. Semua bersorak mengiyakan.

Relia hanya tersenyum mendengar tanggapan mereka atas kedatangannya.

”Halah, macam mau saja dia ngomong sama kau Ngki. Wajah kau saja sudah menggambarkan nama kau. Mongki-mongki. Sini-sini ada pisang!” ujar Togar yang berlagak seperti pelatih topeng monyet.

Sekelompok anak-anak itu tertawa mendengar ucapan Togar. Mereka saling mengiyakan. Ongki yang merasa terhina mendaratkan tinjunya ke bahu Togar.

”Eits.. jangan rusak image kita di depan Relia. Fokus teman! Fokus! Nah, ada apa Rel?” sekarang Fahri yang kelihatan lebih serius angkat bicara.

Relia berhenti dari tawanya. ”Hmm aku mau nanya tentang kabar Erlangga.”

Fahri mengernyitkan dahinya. ”Erlangga? Kami nggak tau tuh.”

”Bukannya dia sering bareng kalian?” tanya Relia bingung.

”Apa lagi bareng Rel! Kenal aja enggak! Tahu namanya juga baru sekarang.” sekarang gantian Ongki yang bicara.

”Kok bisa? Padahal dia bilang, dia sering main sama kalian.” Relia menatap mereka satu per satu.

”Sumpah deh, Rel! Dia nggak ada main sama kita. Kita itu selalu berempat. Gue, Togar, Fahri, dan Ongki.” Arya menatap Relia bingung. ”Lagian selama gue kuliah, gue belum pernah kenalan sama anak yang namanya Erlangga. Emang dia ambil jurusan apa?”

”Dia sekelas sama kita kok. Tunggu! Kayaknya aku ingat sesuatu. Bentar ya!” Relia berjalan ke depan kelas dan mengambil daftar absen di sana. Dia tiba-tiba teringat pernyataan Erlangga pertama kali. Kalau dia tahu Relia, karena tepat berada di atas absennya dan tidak pernah muncul jika diabsen dosen.

Segerombolan anak itu menatapnya heran. Mereka jadi ikut penasaran. Ada apa sebenarnya dan siapa Erlangga?
-Bersambung-


Senja Telah Datang Menghampiri (The Other Parts)
Part 1
Part 2

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...