Monday, April 2, 2012

Minas - Kota Minyak Itu Kini Gersang

(Source: here)

Saya menghabiskan waktu setengah hari untuk mencapai Minas, setelah kunjungan singkat ke Sungai Indarung. Satu-satunya yang membuat saya terikat dengan daerah penghasil minyak ini adalah keluarga saya. Saya memang tidak suka perjalanan darat yang terlalu lama (entah berapa kali saya mengucapkan ini). Sebab saya selalu mual.

Sewaktu kecil saya lebih memilih kendaraan tak ber-AC dan membuka jendela lebar-lebar. Bernapas dengan menggunakan mulut, agar sama sekali tak mencium bau kendaraan. Sedikit tercium, maka kepitan perut akan semakin erat antara dada dan paha, agar tak ada ruang untuk mual. Hal ini selalu saya lakukan ketika bepergian jauh dan duduk di samping Papa. Aaah, I miss that moment, dan itu sudah lama sekaliii.

Minas pun sudah berbeda. Saya menghabiskan masa kecil di sana hanya hingga SMP. Teman main sewaktu SD dan SMP pun sudah tersebar entah dimana. Hanya sesekali berkontak dengan mereka. Kemarin sempat bertegur sapa dengan seorang kawan lama. Saya yang duduk manis di mobil kotak 70-han berselisih jalan dengannya. Dia memandangi saya lama dari luar, cukup lama untuk menyadari bahwa saya adalah teman mainnya ketika SD dulu. Mungkin ada banyak hal yang berubah disamping memang sudah lama juga kami tak berjumpa, mungkin 12 tahun. Aaah, ternyata saya sudah tua.

Di sana juga semakin sepi saja. Sebab berkurangnya sumber minyak di daerah itu. Banyak perusahaan kontraktor yang dahulu berkaryawan ribuan sudah tak lagi beroperasi. Menyisakan bangunan sepi tak berpenghuni di sudut-sudut jalan. Suasana gersang selalu menyambut kepulangan saua ke daerah ini. Sepi dan tak banyak lagi orang yang saya kenal. Yaah, semuanya sepi dan berbeda.

Saya memang sudah terlalu banyak merantau sejak SMA. Tak ada satu tempat pun yang benar-benar saya kenal lagi. Sudah banyak yang berubah dengan memori yang dulu sempat tercetak dalam album kenangan bayangan saya. Satu kata yang bisa saya gambarkan saat ini, bahwa tempat-tempat ini sepi dan hampa. Pergerakan saya pun terbatas, entah karena tak punya teman bermain sepantaran, entah ada faktor lain yang saya pun tak paham. 

Mungkin rasa memiliki itu sudah hilang, karena terlalu lama terentang masa yang berputar. Saya hanya bisa bingung dan merenung, menikmati pemandangan yang tak bisa disambut dengan keceriaan seperti dulu. Atau memang beginilah pemikiran orang yang sudah dewasa, tak lagi bisa menikmati dengan mimik kekanak-kanakan, dan selalu menyangkut pautkan dengan logika. Atau mungkin saja saya sudah tak bisa mengenalnya atau sudah tak lagi menyukainya. Entahlah, hanya satu yang mengikatkan saya di sana, hanya keluarga saya. Bukan yang lain. Mungkin itu jawabnya. Jawaban dari rasa gersang yang selalu datang menyapa.

Mobil-mobil fuso itu berjejer membentuk barisan. Meneriakkan bunyi klakson yang mengerikan dari belakang mobil tua kami yang berjalan pelan. Perasaan dikejar-kejar itu pun muncul. Mengingatkan saya pada sebuah cerita yang cukup mencekam. Saya hanya bisa berdoa, bahwa imajinasi ini janganlah berlebihan dan mengalihkan kenyataan.
(Memori dalam sebuah perjalanan)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...