Monday, April 2, 2012

Sungai Indarung - Tak Lagi Sama

(Siang di perjalanan)

Matahari bersinar terik siang itu. 7 jam perjalanan darat dari Bukittinggi untuk mencapai tempat tumbuh Mama di kala kecil. Duduk bersama dua keponakan di bagian terbelakang mobil sambil sesekali memotret pemandangan yang menakjubkan di sepanjang perjalanan. Hutan tropis yang lebat, jalanan berkelok yang memisahkan tebing-tebing yang menjulang, sungai yang mengalir di sisi jalan, kebun teh yang menghijau, danau yang terbentang luas atau padi yang menguning menemani mata  (suasana syahdunya semakin terasa ketika saya mendengarkan musik Heaven and Earth-nya Kitaro). 

(Danau Kembar - Kabupaten Solok, Sumatera Barat)

Riuh rendah percakapan di bagian depan mobil menemai mata saya yang diam mengamati jalan. Sedikit menekukkan perut karena saya tak terlalu suka jalan yang berkelok itu, yang selalu membuat saya mual dan pusing. Bahkan keindahan pemandangan tak bisa mengalihkan dari kemualan saya akan jalan ini (entah apa hubungannya). Keponakan saya yang duduk di sebelah saya juga sepertinya sudah lelah beraktivitas dan bernyanyi untuk membunuh kebosanan. Terlelap di antara boneka panda dan kura-kura yang mereka bawa dari rumah.

Sungai Indarung, daerah Kabupaten Solok. 

Sudah lama juga saya tidak ke sana, mungkin 10 tahun. Pantas saja semua banyak berubah dibandingkan dengan puing-puing memori yang masih saya simpan dahulu. Rumah, jalan, sungai, semua rasanya terlihat mungil. Mungkin karena badan saya yang membesar, tidak sekecil dulu. Pemandangan alam yang menarik di sana tidak bisa saya nikmati sepenuhnya karena kedatangan keluarga saya ke sana untuk menunaikan sebuah rencana.

Sedikit membosankan karena tidak ada teman yang sepantaran. Jadi saya tidak bisa berjalan lebih jauh untuk lebih mengenal alam yang tak saya datangi lebih dari 10 tahun itu. Ada banyak sekali tempat yang ingin saya kunjungi, mendaki lebih jauh ke atas sana. Tak hanya jalan yang saya lewati sewaktu kecil saja.



(Teman main yang sangat solid)

Jadilah saya menghabiskan dua kali sore hari di kampung Mama dengan dua keponakan saya yang mungil itu (Gigin dan Bibi). Saya bersyukur ada mereka, sore saya di Sungai Indarung menjadi cukup menarik. Semilir angin, hamparan sawah, percikan air yang mengenai batu di sungai, capung yang beterbangan, dan matahari sore yang bergerak malu-malu ke singasananya melatarbelakangi perjalanan pendek kami. Kumpulan gambar yang sempat saya ambil cukup sederhana dan cukup menarik untuk dijadikan kenangan bagi keponakan saya di kala besar nanti. Saya cukup senang, meski lelah karena banyaknya waktu yang dihabiskan di perjalanan dan rasa mual yang dengan semangatnya menghantam perut saya ketika melewati jalan yang berkelok-kelok.


(Memori itu selalu ada)
Orang yang ada di kampung mama tak berkomposisi sama dengan yang ingatan saya dahulu. Sekarang sudah semakin sepi, sudah banyak yang pergi, sudah banyak yang berubah. Rasanya berbeda, tak semenarik sewaktu kecil. Tetapi mereka masih mengingat saya dan tertawa ramah. Saya hanya bisa membalas dengan senyuman dan anggukan. Tak ada embel-embel lain, karena seberapa keras pun saya berusaha mengingat siapa mereka, saya tetap tak mampu mengingat. Saya masih kecil waktu itu.
Suasana alam pun sudah berubah. Masih tersimpan jelas dalam memori ketika saya dengan semangatnya menghempaskan tubuh saya di air sungai yang dingin bersama saudara-saudara sepupu saya yang sepantaran. Tak bisa berenang tetapi tetap merasa tertantang untuk melompat dari sebuah batu besar dan menjeburkan diri ke sungai. Yaah, saya hanya berani mengambil batu pijakan terendah saat itu sebab saya tahu diri, tak bisa berenang. Tetapi saya tetaplah merasa tenang karena mama ada di sana, siap siaga menjaga kami. 

(Memang ada yang berbeda)
Namun sekarang, sungai pun sudah ditumbuhi semak belukar. Tak jua seperti dulu, ketika sungai terasa lebar, ketika tak ada tumbuhan yang menghalangi saya membenamkan kaki ke sungai. Aaah, banyak yang berubah. Ketika otak saya mencoba mengumpulkan memori itu dan membandingkannya dengan kenyataan, sedikit ada rasa kecewa yang muncul di hati saya. Terlalu banyak perubahan.

  (Sungai itu masih jernih)
 (Berteriak pada alam)

Ada sebuah pesan yang disampaikan orang kampung mama kepada saya ketika berpamitan. Memunculkan seringai tak jelas yang sedikit malu-malu pada wajah saya. Sedikit tercengang dengan pesan mereka yang diiringi derai tawa. Sebuah pesan untuk tak lagi datang sendiri ketika berkunjung lagi kesana. Ya ya ya, saya sedang mencarinya juga. Entah dimana dia berada, saya terlalu takut mengira-ngira. Biarlah waktu yang menjawabnya, agar tak ada lagi prasangka yang mengarahkan pada kesia-siaan. Saya hanya harus percaya bahwa Dia sudah menuliskannya buat saya dan lebih banyak lagi berdoa. Dalam senyuman malu, saya hanya bisa berkata, “Doakan Ika saja, supaya bertemu dia.”

Mereka bergerak lincah di jalan kecil. Panas terik tak menjadi soal bagi mereka untuk meresapi keindahan alam yang berbeda dari tempat mereka tinggal. Mereka haus akan petualangan, mereka rindu kembali ke alam.
(Rindu akan alam)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...