(Source: here)
Ada banyak cuplikan percakapan lucu atau sedikit bermakna yang saya hasilkan dengan Bibi, masa itu. Mungkin lucunya, lucu bagi saya. Mungkin juga bermaknanya, hanya bagi saya juga. Saya suka dia, dia punya rasa kemanusiaan yang luar biasa. Saya juga merasakannya, sebab saya merasa dia sayang sekali sama saya, semoga tak berubah hingga dia besar nanti. Setiap saya akan bepergian, dia selalu mengantarkan saya ke bandara. Setiap akan tidur, dia selalu ingin bersama saya. Setiap mempunyai sesuatu, dia selalu berbagi kepada saya, bahkan impiannya. Saya suka.
***
#Scene 1
Dia menatap saya dengan mata bulatnya dan terus berjalan mendekati saya. Saya balik menatapnya. Lantas dia berkata: "Saya kenal sama kamu?", sambil berlagak sedikit belagu.
S: "Nggak saya tidak kenal kamu, sepertinya." (mencoba mengikuti flow yang dia bangun)
B: "Oke."
S: "Ya udah, kalo kamu nggak kenal saya. Kamu nggak boleh tidur sama saya, ya."
B: "Tanteeeeee, janganlah gituuu." (dia khawatir sendiri dan merengek-rengek)
S: "Nggak saya tidak kenal kamu, sepertinya." (mencoba mengikuti flow yang dia bangun)
B: "Oke."
S: "Ya udah, kalo kamu nggak kenal saya. Kamu nggak boleh tidur sama saya, ya."
B: "Tanteeeeee, janganlah gituuu." (dia khawatir sendiri dan merengek-rengek)
#Scene 2
Mamanya memutarkan CD di tape mobil. Memperdengarkan sebuah lagu yang mengisi ruang sempit di kendaraan yang melaju kencang di jalan berkelok itu. Lagu yang dinyanyikan Melly Goeslaw. Dia yang sedang diam dan terlihat bosan, tiba-tiba terlihat bersemangat dan mengikuti lirik yang mengalun sambil mengerakkan tubuh mengikuti irama. Suaranya yang genit mengiringi lagu yang dinyanyikan Melly Goeslaw.
Lagu itu diputar berkali-kali atas permintaannya. Saya yang juga ikut terbawa irama mulai tertarik untuk bertanya mengenai lagu yang dia nyanyikan. "Memang judul lagunya ini apa, Bi?" Dia yang sibuk bersenandung it langsung nyeletuk, "Belum ada lagi judulnya, Tanteee." Ngomongnya pede abis, padahal asbun. Wkwkwk.
#Scene 3
Saya keluar melenggang dari rumah makan di dekat Jam Gadang, Bukittinggi. Lantas Bibi mendekati saya dan membisikkan sesuatu. Saya dekatkan telinga saya kepadanya untuk memperjelas pendengaran saya dengan apa yang dikatakannya.
Dulu saya pernah cerita kalau dia ingin jadi pemilik salon. Sekarang mimpi itu sudah berubah. Saya iseng lagi bertanya, mengkonfirmasi cita-citanya yang saya dengar dari Mama.
Kata Mama, mimpi dia ini muncul karena prihatin melihat orang yang lebih menderita dari dia. Entah apa yang ada dipikiran Bibi, dia terlalu cerdas untuk umurnya yang sekarang. Rasa kemanusiaannya begitu tinggi.
#Scene 5
Bibi tak mau memanggil adik saya tante, atau bunda kecil, panggilan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari olehnya (nya di sini adalah adik saya). Jika ditanya mengapa dia masih saja memanggil adik saya dengan panggilan kakak, dia akan bilang dengan nada suara yang lelah sekali menjelaskan sesuatu yang rasanya sudah jelas. "Ya iyalaah, Nte. Kak ilid itu belum kuliah." (apa ya hubungannya?? *menatap langit).
#Scene 6
Dalam perjalanan pulang. Dia sibuk saja mengikuti lagu yang mengalun. Apa saja lagu yang diputar, mulutnya akan terus mengikuti nyanyian itu. Sampai-sampai Papanya bilang bahwa mereka tak perlu lagi memasang speaker tambahan di belakang, sudah ada yang menggantikan. Memancing derai tawa sepanjang perjalanan karena melihat wajah inosennya yang terpampang.
#Scene 7
"Tante, Gigin ada teka-teki." ucap Gigin (kakaknya Bibi) dengan semangat 45.
Saya cukup kewalahan mengikuti karena lebih dari setengah percakapan kami selalu di awali dengan "Tante, ada teka teki?". Saya menggangguk dan bertanya apa gerangan teka tekinya itu. Setelah gigin memaparkan, Bibi berteriak-teriak dengan histeris kalau dia tahu jawabannya.
Gigin merasa tidak senang dan malah balik tertantang. Tertantang untuk balik menjawab pertanyaannya sendiri, Hwahahahhaa. Saya, yang notabene merasa sudah pernah dengar pertanyaan itu, dan juga merasa bahwa kemaren juga Bibi lah yang menjawab teka teki yang sama itu, diam saja dan jadi menonton mereka.
Bibi merasa tertantang dan ingin menjawab teka teki dengan menggebu-gebu. Gigin sudah tidak bisa mengontrol, dan lantas menjawab pertanyaannya sendiri dengan kecepatan yang sangat tinggi. Bibi terlambat berucap dan tertahan dengan mulut menganga dan mata yang membesar. Setelah Gigin selesai berbicara dia langsung berkata dengan penuh penghayatan, "Aneeeh lah, dia yang nanya, dia yang jawab."
Sang mama yang tak mengerti duduk persoalan menimpali, "Kan adek udah bilang nyeraaah kan?"
Bibi kembali menganga dan sekarang menatap saya mengharap dukungan. "Mana ada. Adek ndak ada bilang nyerah, do. Iya kan, Nte?"
Saya mengangguk dan menyetujui. Lantas Gigin mengikik di samping saya. "Hehehhe, iya iya. Gigin juga pengen jawab aja, nya." Ucap Gigin tak peduli, menghasilkan mulut yang menganga lagi di wajah Bibi.
Sebenarnya ada banyak lagi kisah yang saya habiskan dengan ponakan saya ini. Seperti ketika dia memarahi saya ketika memperkenalkan namanya Bibi. Sumpah, matanya melotot waktu itu. Dia bilang nama dia itu Nabila, Bibi itu hanya panggilannya.
Atau bagaimana gayanya berkenalan dengan seorang anak.
"Adek namanya siapa?" menatap ke seorang anak yang berdiri di depannya.
"Puput", anak kecil itu hanya sebahu Bibi
"Nama Kakak, Nabila", sambil menyodorkan tangan yang disambut oleh Puput."Main Yuuuk"
Padahal seingat saya umur Puput lebih besar dari dia. Waktu saya bilang, "Kok adek manggil diri adek, kakak, sama Puput. Puput kan sudah kelas satu. Adek baru TK."
Dia dengan polosnya bilang, "Masa adek manggil dia, kakak?" menatap Puput yang hanya sebahunya dan menatap saya tak percaya. (Hedeeeh, dasar Bibi. #saya tepok jidat).
Kalau cerita tentang Bibi, memang selalu saja ada yang mau saya ceritakan. See you soon, Bibi. Hehehe
#Scene 3
Saya keluar melenggang dari rumah makan di dekat Jam Gadang, Bukittinggi. Lantas Bibi mendekati saya dan membisikkan sesuatu. Saya dekatkan telinga saya kepadanya untuk memperjelas pendengaran saya dengan apa yang dikatakannya.
Bibi (B): "Tante, kasihan orang itu ya. Kasih uang ya, Tante." (dia menatap lama pada seseorang yang duduk di depan rumah makan)#Scene 4
Saya (S): Menatapnya setelah melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dia sedang memandang dalam ke arah orang tadi.
B: "Kalau adek ada uang seratus juta, nanti adek mau bagi-bagiin buat mereka, satu juta-satu juta."
S: "Memang adek punya uang?"
B: "Nanti, kalau adek sudah kerja."
Dulu saya pernah cerita kalau dia ingin jadi pemilik salon. Sekarang mimpi itu sudah berubah. Saya iseng lagi bertanya, mengkonfirmasi cita-citanya yang saya dengar dari Mama.
S: "Sekarang, cita-cita adek mau jadi apa?"
B: Sedang sibuk mengibas-ngibaskan rambutnya yang cepak. "Adek mau jadi Direktur."
S: "Wew, Direktur apa memang?"
B: "Direktur Hotel Keluarga"
Kata Mama, mimpi dia ini muncul karena prihatin melihat orang yang lebih menderita dari dia. Entah apa yang ada dipikiran Bibi, dia terlalu cerdas untuk umurnya yang sekarang. Rasa kemanusiaannya begitu tinggi.
#Scene 5
B: "Tante, mau adek creambath?"
S: "Boleeeeh." (memperlihatkan senyum lebar. Pijatan Bibi memang membuat nyaman, tepat sasaran. Hanya saja sering menyisakan jerawat di wajah saya. Biasalah anak kecil, entah kemana saja tangannya sebelum menjadikan saya kelinci percobaan)
Adik saya: "Aaaah, kalau Ilid yang minta pasti nggak mau. Cuma kak Ika aja yang ditawarin.:
B: Masih sibuk memainkan rambut di kepala saya. "Ta iyalah, kaaak. Tante kan Pelanggang Istimewa adek"
(Hahaha, menyatakan pelanggan saja masih Pelanggang begitu. Tapi tingkat percaya dirinya Bibi tinggi sekali sebagai ahli creambath).
Bibi tak mau memanggil adik saya tante, atau bunda kecil, panggilan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari olehnya (nya di sini adalah adik saya). Jika ditanya mengapa dia masih saja memanggil adik saya dengan panggilan kakak, dia akan bilang dengan nada suara yang lelah sekali menjelaskan sesuatu yang rasanya sudah jelas. "Ya iyalaah, Nte. Kak ilid itu belum kuliah." (apa ya hubungannya?? *menatap langit).
#Scene 6
Dalam perjalanan pulang. Dia sibuk saja mengikuti lagu yang mengalun. Apa saja lagu yang diputar, mulutnya akan terus mengikuti nyanyian itu. Sampai-sampai Papanya bilang bahwa mereka tak perlu lagi memasang speaker tambahan di belakang, sudah ada yang menggantikan. Memancing derai tawa sepanjang perjalanan karena melihat wajah inosennya yang terpampang.
#Scene 7
"Tante, Gigin ada teka-teki." ucap Gigin (kakaknya Bibi) dengan semangat 45.
Saya cukup kewalahan mengikuti karena lebih dari setengah percakapan kami selalu di awali dengan "Tante, ada teka teki?". Saya menggangguk dan bertanya apa gerangan teka tekinya itu. Setelah gigin memaparkan, Bibi berteriak-teriak dengan histeris kalau dia tahu jawabannya.
Gigin merasa tidak senang dan malah balik tertantang. Tertantang untuk balik menjawab pertanyaannya sendiri, Hwahahahhaa. Saya, yang notabene merasa sudah pernah dengar pertanyaan itu, dan juga merasa bahwa kemaren juga Bibi lah yang menjawab teka teki yang sama itu, diam saja dan jadi menonton mereka.
Bibi merasa tertantang dan ingin menjawab teka teki dengan menggebu-gebu. Gigin sudah tidak bisa mengontrol, dan lantas menjawab pertanyaannya sendiri dengan kecepatan yang sangat tinggi. Bibi terlambat berucap dan tertahan dengan mulut menganga dan mata yang membesar. Setelah Gigin selesai berbicara dia langsung berkata dengan penuh penghayatan, "Aneeeh lah, dia yang nanya, dia yang jawab."
Sang mama yang tak mengerti duduk persoalan menimpali, "Kan adek udah bilang nyeraaah kan?"
Bibi kembali menganga dan sekarang menatap saya mengharap dukungan. "Mana ada. Adek ndak ada bilang nyerah, do. Iya kan, Nte?"
Saya mengangguk dan menyetujui. Lantas Gigin mengikik di samping saya. "Hehehhe, iya iya. Gigin juga pengen jawab aja, nya." Ucap Gigin tak peduli, menghasilkan mulut yang menganga lagi di wajah Bibi.
***
Sebenarnya ada banyak lagi kisah yang saya habiskan dengan ponakan saya ini. Seperti ketika dia memarahi saya ketika memperkenalkan namanya Bibi. Sumpah, matanya melotot waktu itu. Dia bilang nama dia itu Nabila, Bibi itu hanya panggilannya.
Atau bagaimana gayanya berkenalan dengan seorang anak.
"Adek namanya siapa?" menatap ke seorang anak yang berdiri di depannya.
"Puput", anak kecil itu hanya sebahu Bibi
"Nama Kakak, Nabila", sambil menyodorkan tangan yang disambut oleh Puput."Main Yuuuk"
Padahal seingat saya umur Puput lebih besar dari dia. Waktu saya bilang, "Kok adek manggil diri adek, kakak, sama Puput. Puput kan sudah kelas satu. Adek baru TK."
Dia dengan polosnya bilang, "Masa adek manggil dia, kakak?" menatap Puput yang hanya sebahunya dan menatap saya tak percaya. (Hedeeeh, dasar Bibi. #saya tepok jidat).
Kalau cerita tentang Bibi, memang selalu saja ada yang mau saya ceritakan. See you soon, Bibi. Hehehe
No comments:
Post a Comment