Monday, February 20, 2012

Senja Telah Datang Menghampiri (Part 2)

Cerita sebelumnya: Dari tempat ini, setiap hari, dia selalu menanti kedatangan sang sahabat yang telah bersedia menyisakan waktu untuk membantunya.
"Udah lama nggak liat kamu? Kemana aja?” tanya lelaki itu.
Relia terpana sesaat. Tidak menyangka ada yang memperhatikannya, mengingat dia hanya masuk beberapa minggu selama kuliah berlangsung.”Kamu kenal aku?” ucapnya heran.
(Source: here)
”Nggak”, jawab lelaki itu.”Aku cuma tahu bahwa kamu adalah orang yang namanya tepat berada di atas absenku. Dan nggak pernah muncul kalau dosen mulai mengabsen.”
”Ha?”
”Ya” ucap lelaki itu meyakinkan. ”Aku tidak pernah melihatmu. Tadi hanya basa basi.” sambungnya santai.
”Oo,” Relia mengangkat bahunya. Lalu berbalik dan menatap papan tulis dengan pandangan bingung.
Sebuah sentuhan menyentuh pundaknya lagi. ”Tapi sekarang aku kenal kamu kok. Jadi kita berteman?” ucap lelaki itu.
”Nggak tau. Aku malas menjalin pertemanan.” jawabnya.
Sebuah pandangan aneh menatapnya. Lelaki itu mengernyitkan kening.
”Ha ha ha aku bercanda. Tentu aja aku mau. Aku sangat senang kamu mau jadi temanku,” Relia menyodorkan tangan kanannya.
”He he. Aku kira kamu serius,” lelaki itu mengusap kepalanya lalu menyambut tangan Relia. ”Erlangga!” ucapnya mantap.

***
Relia menyapu seluruh ruangan kelas. Kira belum menampakkan hidungnya sejak tadi. Dia bertanya-tanya kemana anak itu perginya.
”Halloooooooo Rel!” teriakan kecil menggema tepat di telinganya. ”Lagi nyariin princes ya? Aku udah biasa di idolain ama orang-orang kok.” sambung pemilik suara itu yang ternyata Kira.
Relia tersenyum lebar. ”Nggak. Aku cuma lagi cari kurir nih. Kok lama banget ya, datangnya?”
”Yaaaah. Kok gitu,” Kira hanya bersungut-sungut dan mengambil tempat duduk di samping Relia. Mereka pun lalu hanyut dalam percakapan panjang. Sambil menimpali, mengejek, menyatakan argumen, cekikikan dan berbagai hal hingga dosen memasuki ruangan.
Relia melihat dosen itu masuk dari sudut matanya. ”Udah ah! Ntar aja kita sambung ya. Aku mau menikmati saat seperti ini Kir.” Relia mulai meluruskan duduknya dengan wajah berbinar-binar. Masa kuliah ini harus jadi pengalaman indah.
”Selamat siang anak-anak!” suara seorang dosen wanita menggema di seluruh ruangan. Wanita itu menampakkan wibawa yang tinggi. ”Sekarang kita akan melanjutkan materi kuliah yang kemarin.Apa yang akan kita lakukan sebagai engineer jika kita akan melakukan suatu produksi yang melibatkan reaksi kimia?” ucapnya pada semua mahasiswa. ”Seperti yang sudah dijelaskan, pertama-tama kita harus liat reaksi itu dari sudut pandang termodinamikanya. Bila reaksi tidak sesuai dengan kriteria dari G yang diinginkan maka lupakan saja produksi itu. Namun bila sesuai lanjutkan dengan sifat kinetiknya, jika reaksi dapat secara termodinamika namun ternyata memerlukan waktu seratus tahun. Apa kalian tetap mau melanjutkannya?”
” Saya keburu mati duluan, bu!” ucap seorang anak dari barisan belakang yang bernama Ongki.
”Nggak untung, bu.” cerocos Arya yang katanya dari Padang.
”Mending nanam singkong, bu. Cepat tumbuhnya!” celetuk Kira.
Semua anak tertawa mendengar tanggapan yang asal bunyi itu termasuk si Ibu dosen. Kelas riuh dengan berbagai pendapat. Ada yang masuk akal, ada yang asal-asalan sesuka hati mereka. Relia menikmati suasana itu. Suasana yang sudah lama tidak dia rasakan selama menghilang.
”Sudah-sudah!” Ibu itu menghentikan keriuhan kelas yang mulai ngelantur kemana-mana. ” Sebenarnya ada cara lain yang bisa kita lakukan kalau seandainya hal itu terjadi. Kita bisa menggunakan katalis. Kita harus memilih katalis yang sesuai dengan produk yang kita inginkan. Kalian tahu kan katalis?
”Zat yang membantu mempercepat reaksi namun nggak ikut bereaksi”
Ibu itu hanya diam di depan. Mendengar semua pendapat mahasiswanya. Sekarang dia tersenyum dari kursinya. ”Sekarang saya harus mengubah pandangan kalian. Katalis bukan tidak bereaksi. Dia ikut bereaksi tapi dia tidak ikut terkonsumsi di akhir reaksi. Itulah pengertian katalis yang benar. Katalis bisa diibaratkan seperti mak comblangnya reaksi. Kalian mengertikan?”
Semua anak mengeluarkan tanggapan O mereka.
”Saya kira kuliah kita hari ini sampai di sini. Saya ada pertemuan rapat. Nggak apa-apa kan?” ucap Ibu dosen dari depan.
.”Yaaaaaaaaaaah Ibu,” ucap Ongki dengan wajah yang dipasang sedih dibuat-buat. ”Kita kan mau belajar.”
Kelas kembali riuh seketika. Ada yang cekikikan ada juga yang langsung memasukkan buku ke dalam tas mereka.
”Udah! Nggak usah pakai akting segala. Saya kan pernah muda” Ibu itu tersenyum dan mulai berjalan. ”Selamat siang!”
”Selamat siang juga Bu!” jawab semuanya.
***
Relia berjalan menuju kantin. Dia berpisah dengan Kira beberapa saat yang lalu. Mereka berjanji akan bertemu lagi di kantin. Rasa lapar diperutnya sudah melilit hebat sedari tadi.
”Rel! Tunggu!” Erlangga berlari dibelakang Relia. Lalu mulai menjajari langkahnya dengan gadis itu.”Cepat banget sih langkahnya?” Erlangga memegangi dadanya yang sesak karena berlari.
”Siapa yang suruh ngejar? Nggak ada kan?” Relia hanya terus berjalan dengan cuek.
Sebenarnya dia bingung, kenapa lelaki ini selalu mengikuti kemana pun dia pergi sejak dia mulai memasuki dunia perkuliahan lagi setelah vakum beberapa saat. Dan anehnya, lelaki ini selalu muncul jika Kira sedang tidak di dekatnya lagi.
”Ya, emang sih.” ucap Erlangga malu-malu. ”Tapi kita kan teman. Jadi teman harus saling nungguin”
”Hah, aturan dari mana. Lagian kamu kan cowok, main sana sama yang lain! Yang berjenis kelamin sama dengan kamu!” Relia bersungut-sungut. ”Kamu tipe cowok melow ya?” Relia menatapnya dengan pandangan curiga.
”Enggak! Enak aja. Aku punya banyak temen. Aku sering main sama anak di genk belakang. Nggak sama kamu aja. Tapi sekarang aku lagi pengen nemenin kamu. Kamu lagi sendiri, aku juga baru pisah dari yang lain. Nah klop kan?” Erlangga berkata dengan penuh semangat.
Relia ternyata tidak mendengar. Dia sekarang sedang mengantri di konter makanan. Erlangga menarik napas panjang. Gadis itu sibuk memilih makanan yang diinginkannya.
”Rel? Selama ini kamu kemana aja? Kamu sakit ya?” Erlangga memulai percakapan setelah mereka menemukan tempat duduk yang kosong.
”Aku nggak sakit. Aku cuma lagi ada masalah aja kok.” Relia hanya menjawab seadanya. Dia memang tidak pernah bercerita kepada yang lain. Hanya Kira yang tahu masalah yang dipendamnya selama ini. Kira yang selalu ada di sampingnya.
”Kalau boleh tahu, ada masalah apa?” Erlangga menatap Relia dengan pandangan khawatir.
”Nggak! Kamu nggak boleh tahu!” jawab Relia. ”Aku nggak butuh tatapan kasihan dari orang lain. Jadi jangan natap aku seperti itu lagi,” Relia menunjuk ke mata Erlangga.
Erlangga terkejut mendengar jawaban Relia. Lantas, dia tidak melanjutkan pertanyaannya dan asyik memakan pesanannya. Tak lama kemudian setelah semuanya habis termakan olehnya, Erlangga pamit untuk pergi ke kelas duluan. Katanya ada beberapa hal yang mau dia kerjakan. Relia hanya mengangguk dan tetap disana. Dia tengah menunggu Kira yang janji akan bertemu di sini.
”Sori aku terlambat. Aduh Rel, banyak banget masalahnya.” Kira memberondong Relia dengan berbagai masalahnya. ”Walah-walah, aku mesti ngurus laporan yang seabrek. Kemaren aku terlambat ngumpulin sama dia. Aku dimarahin dong Rel!”
Relia mendengar semua paparan Kira. Tertawa dengan semua keluh kesah Kira yang malah diubahnya jadi lelucon.
”Huhuhu, dia marahin aku gara-gara lupa ngetik nama dia. Aku habis-habisan dimarahin. Masak pakai ngomong potong-potong gaji segala. Aku sih cuek-cuek aja. Siapa dia gitu mau motong-motong gajiku? Huh sebel” ucap Kira mengebu-gebu sambil menggebrak-gebrak meja.
”Ha ha ha. Dia atasanmu di tempat itu, Kir” Relia mengingatkan. Kira memang salah satu dari sekian banyak mahasiswa di sana yang kerja sambil kuliah. Mencari tambahan hasil, katanya. Meskipun Relia tahu Kira bukan dari golongan ekonomi bawah.
”Ooo iya. Aku lupa. Ternyata dia atasanku. Ck ck ck, emosi membuatku lupa daratan” Kira mengeleng-geleng frustasi. ”Bertambah sudah bebanku”
”Hwa ha ha”
Tepukan mendarat di pundak Relia. Sebuah tatapan memelas menatap tepat ke arahnya. Tatapan itu tidak membuatnya diam, malah membuatnya tawanya semakin keras.
”Ooh, jadi begini Rel. Oh tidaaak. Hanya sebatas inikah pertemanan kita. Ketika aku jatuh dirimu menertawakanku?” Kira berkata dengan wajah dibuat sedih dan ekspresi dibuat-buat.
Relia diam. ”Kalau cara kamu menceritakan masalah seperti itu, siapa pun orang yang dengerin cerita kamu pasti tertawa.” Relia menatap Kira. Sekarang tidak ada lagi tawa, wajahnya berubah serius. ”Aku takjub sama kamu. Selama aku jatuh, kamu selalu ada. Padahal kita nggak dekat sama sekali. Selain keluargaku, hanya kamu yang tau masalahku Kir. Selama ini aku sama sekali nggak tau apa gunanya teman. Mereka hanya ada saat bagian senangnya saja. Ketika mereka butuh, baru mereka ada disekitarku. Hanya itu. Nggak ada yang ngingatin aku jika aku meluncur ke bagian yang nggak benar. Mereka cuma diam, dan sedikit demi sedikit mereka pun menghilang. Cuma itu arti teman. Tapi sekarang, sejak aku kenal kamu. Semua pandanganku berubah. Sekarang aku punya pandangan tentang hidup yang berbeda. Arti kehidupan, arti persahabatan, semuanya!”
Kira hanya terdiam mendengar penuturan Relia.”Jadi selama ini kamu punya pandangan seperti ini?” ucapnya setelah tersadar.
Relia hanya menjawab dengan anggukan.
***
Guyuran hujan mengawali hari itu. Relia merasakan sakit yang amat sangat di ulu hatinya. Ada sesuatu yang salah di sana. Cepat-cepat dia bergerak ke meja yang ada di sudut ruangan dan mengambil obat-obatan di sana. Meminum dengan cepat. Setelah sedikit merasa lega, dia pun bergerak lagi ke arah tempat tidur sambil memegang bagian yang sakit itu. Sakit itu perlahan-lahan menghilang.

Senja Telah Datang Menghampiri (The Other Parts)
Part 1

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...